Pengumuman

selamat datang di blog adree291, demi kemajuan kita, maka komentar, saran dan kritik anda gw tunggu, send me an email to adrielfikri@gmail.com

selamat datang anak bangsa!!!

ketika yang berserak kini berhimpun, dengan menatap masa depan meraih mimpi mewujudkan cita-cita kemerdekaan dengan semangat Independen jiwa dan diri sebagai Hamba Allah yang senantiasa berada dalam Limpahan Karunia Ilahi

Kamis, 23 Juli 2009

Organisasi

Garis Besar Materi Ke-Organisasian
Organisasi merupakan sebuah wadah tempat dimana bermuaranya dua orang atau lebih dengan tujuan yang sama untuk kemajuan organisasi. Dengan adanya sumber daya organisasi inilah apa yang telah dijadikan tujuan yang berjalan sesuai perencanaan tidak mustahil untuk mencapai tujuan tersebut.

Organisasi yang sering kali menjadi langkah awal untuk mencapai apa yang menjadi harapan ke depan, telah menjadi hal penting yang di pandang perlu untuk pendewasaan diri. Meskipun begitu, organisasi yang dari awal menjadi wadah ekspresi dari setiap gambaran pencapaian, organisasi juga terkadang begitu dilematis.

Pencapaian organisasi diawali dengan perencanaan dari setiap anggota yang memiliki tujuan, tapi juga jangan melupakan hal bahwa setiap individu memiliki pandangan yang berbeda, hal inilah yang menjadikan organisasi terlalu dilematis dan seakan dibuat dengan sengaja menjadi teramat rumit.

Banyaknya dinamika organisasi yang harus diterima terkadang membuat kejenuhan hinggap dalam berorganisasi, yang harus disadari bahwa hal ini merupakan proses awal dari pencapaian setiap tujuan. Pendewasaan dalam menerima perbedaan sikap dalam berjalannya waktu dari setiap individu yang berbeda pula.

Organisasi bukan suatu hal yang mampu memberikan kesempurnaan. Organisasi dibentuk oleh kita sebagai anggota darinya. Apapun yang terjadi dalam organisasi bukan karena organisasi itu sendiri, karena organisasi bukan alat yang memberikan apa yang diharapkan, melainkan orang itu, dy, mereka dan kita sebagai pemeran utama di dalamnya. Artinya bahwa, organisasi bukan bentuk, bukan juga benda hidup yang mampu memberikan dan juga mampu mewujudkan segala mimpi dan harapan.

Organisasi harus dibangun sesuai dengan apa yang dicita-citakan bersama. Apapun yang terjadi merupakan sebuah konsekuensi yang semestinya dapat dirasakan bersama dan membangun organisasi juga merupakan suatu bentuk keperdulian untuk mewujudkan harapan bersama.

Segala yang terjadi dengan dan didalam organisasi merupakan gejala dari apa yang kita perbuat. Segala yang dibentuk dalam organisasi merupakan bentuk upaya yang yang dilakukan oleh kita semua. Tidak lagi menyalahkan kewajiban apa dan siapa yang menaggungnya melainkan opini kita yang dibentuk oleh akal dan fikiran yang terbangun dari keinginan dan niat yang bermula pada harapan awal.
Organisasi dan organisasi…..

Pragmatis dan Subjektif , Dilematis!!

Dialektika yang sering kali menjadi hal luar biasa terkadang menjadi hal yang dilematis. Dialektika yang sering terjadi kini tidak lagi berangkat daripada nilai rasionalitas sebagai esensi daripada penilaian seberapa wajarkah hal tersebut menjadi wacana yang tersirat di tengah kondisi yang kian labil.

Dialektika yang diberikan baik secara formil dan atau non formil selalu saja di tekankan kepada nilai kritis daripada apa yang tidak sesuai dengan gaya kehidupan yang semestinya. Namun, sering kali nilai-nilai pendewasaan dalam dialektika berbenturan pada mainstream yang bermuara pada nilai subjektifitas dan pragmatis.

Objektifitas yang bermula pada penekanan bagaimana penilaian dimulai dari hal yang benar dan nyata dengan didasari oleh rasionalitas sehingga bersifat universal dan dapat di terima oleh akal dan fikiran setiap individu acap kali menjadi hal yang relatif dilematis. Dinamisasi yang sering terjadi di mulai daripada ambisi yang berangkat dari seberapa besar keuntungan akan di terima dengan tidak lagi berbicara rasional dan juga hal yang sifatnya objektif.

Pragmatis dengan mudahnya membangun resistensi terhadap nilai subjektifitas yang timbul karena tidak lagi berbicara bagaimana idiologi dapat dipertahankan, dengan demikian idiologi terjual dan dapat bernilai yang lalu idiologi tidak lagi menjadi hal yang menjunjung tinggi idealisme.

Idealisme yang terbangun dari filosofi hidup mengedepankan norma diri sebagai manusia makhluk yang berakal budi. Dengan ini seharusnya nilai kritis dapat terbangun dari pengejawantahan subjektifitas irrasionalism.

Penilaian yang kini sering kali tidak berdasarkan rasionalitas dan juga objektifitas, membuat resistensi yang berkepanjangan terhadap nilai dan juga norma dasar sebagai manusia dan juga Mahasiswa.

Suara yang kini dapat diperjualbelikan menjadikan suara tersebut bagai tak berbalas tangan, berbuah manis yang kemudian tak lagi dipandang oleh masyarakat. Jika dirasakan, ini membuat kita tak lagi mendapat simpati penuh dari masyarakat.

Keadaan ekonomi memang sering sekali mendorong kita kepada hall yang tidak rasional, lari dari kenyataan yang tidak lagi mampu mewujudkan apa yang di inginkan seutuhnya.

Walaupun begitu, kerasnya usaha kita membentuk opini yang idealis di tengah masyarakat berdasrkan Tri Dharma berlandaskan Pancasila serta menjunjung tinggi perbedaan, maka bukan suatu yang absurd untuk mewujudkan Amanat agama dan bangsa ini.

Kamis, 16 Juli 2009

Kasasi atas Vonis Bebas, Yurisprudensi yang Menerobos KUHAP

Pihak yang pertama kali menerobos pasal 244 KUHAP justru eksekutif, dalam hal ini Menteri Kehakiman. Menteri mengeluarkan pedoman KUHAP yang dalam lampirannya menyebut kasasi atas vonis bebas dapat diajukan demi hukum, keadilan dan kebenaran.
Rombongan pengacara dipimpin Mahendradatta menyambangi Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis, 15 Januari lalu. Anggota tim penasihat hukum Muchdi Purwoprandjono itu rencananya hendak bertemu Zahrul Rabain, Ketua Pengadilan. Tuan rumah sedang tak di tempat, sehingga rombongan pengacara tadi hanya diterima Panitera Pengadilan, Lilies Djuaningsih.

Maksud kedatangan rombongan tersebut jelas. Menurut Mahendradatta, mereka ingin meminta Ketua Pengadilan tak meneruskan kasasi yang diajukan jaksa. Kalau upaya hukum tetap dilakukan, sama saja pengadilan menabrak undang-undang yang rumusannya sudah jelas. “Kami minta ketua pengadilan tidak mengirimkan berkas kasasi JPU,” tandasnya.

Wet yang ditabrak tak lain adalah pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal ini merumuskan bahwa terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan kasasi. Logikanya, pihak yang mengajukan kasasi jika terdakwa dibebaskan adalah penuntut umum. Rumusan pasal 244 sangat jelas. Sehingga, menurut Mahendratta, tidak ada alasan bagi PN Jakarta Selatan untuk meneruskan berkas permohonan kasasi dari JPU. Kalaupun diteruskan, terlebih dahulu ada pendapat hukum dari Mahkamah Agung (MA).

Singkatnya, berdasarkan pasal 244 KUHAP, putusan hakim tingkat pertama yang membebaskan terdakwa dari segala dakwaan tidak bisa dikasasi ke Mahkamah Agung. Amar itu pula yang belum lama diputus majelis hakim PN Jakarta Selatan terhadap terdakwa Muchdi Purwoprandjono, terdakwa penganjur pembunuhan aktivis HAM, Munir. “Menyatakan terdakwa H. Muchdi Purwoprandjono tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan kepadanya,” tegas ketua majelis hakim, Suharto.

Muchdi bukan hanya dibebaskan dari segala dakwaan, tetapi juga harus segera dilepas dari tahanan. “Memerintahkan agar terdakwa dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan ini diucapkan,” begitu antara lain amar yang dibuat majelis hakim Suharto, Achmad Yusak, dan Haswandi.

Vonis bebas itu sontak menuai kontroversi. Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum), komite yang selama ini mengadvokasi kematian Munir, mengecam putusan majelis. Suciwati, isteri almarhum Munir, langsung tertundu lesu dan menitikkan air mata mendengar vonis bebas itu. Sebaliknya, terdakwa Muchdi tak bisa menutup kegembiraan. Seusai sidang, ia langsung mengucapkan syukur. Pendukungnya pun langsung berteriak “hidup Muchdi”, lalu menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Lonceng perlawanan terhadap vonis itu datang dari Kejaksaan Agung. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan, M. Jasman Panjaitan menyatakan penuntut umum mengajukan kasasi. Pernyataan Jasman disusul aksi Cirus Sinaga, penuntut umum perkara Muchdi, menandatangani akta kasasi di Kepaniteraan PN Jakarta Selatan tiga hari sebelum rombongan Mahendradatta datang.

Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum (Jampidum) Abdul Hakim Ritonga memastikan penuntut umum Cirus Sinaga sudah menyampaikan memori kasasi ke Kepaniteraan PN Jakarta Selatan, Jum’at (23/01) pagi. Jaksa memutuskan kasasi karena beberapa hal. Pertama, kata Ritonga, ada ketentuan hukum yang tidak dilaksanakan majelis sebagaimana mestinya. Kedua, ada proses peradilan yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, atau hakim melampaui wewenang. “Apakah alasan-alasan itu ditemukan dalam keputusan yang ada, menurut jaksanya dapat ditemukan,” tegas Ritonga.

Ditambahkan Jasman Panjaitan, JPU akan mempersoalkan penerapan hukum. Kejaksaan menilai hakim salah menerapkan hukum. Meskipun tak menjelaskan detail kesalahan penerapan hukum dimaksud, tekad Kejaksaan untuk kasasi sudah bulat. Pasal 244 KUHAP bukan halangan yuridis karena --di mata Kejaksaan—vonis bebas Muchdi bukan bebas murni. “Putusan PN Jakarta Selatan itu bukan bebas murni,” ujarnya.


Bebas: Murni atau Tidak?
Kontroversi dan perdebatan hukum akhirnya bergeser pada isu ini: bebas murni atau bebas tidak murni. Dari enam poin amar majelis tak satu pun yang menyebut sifat vonis tersebut. Majelis hanya menyatakan “membebaskan terdakwa dari semua dakwaan”.

Pengamat hukum acara pidana, T. Nasrullah, juga memastikan istilah bebas murni dan bebas tidak murni tidak dikenal dalam KUHAP. Pasal 244 KUHAP pun hanya menggunakan kata ‘bebas’. “KUHAP tidak mengenal putusan bebas murni atau tidak murni,” ujarnya kepada hukumonline.

Lalu darimana jaksa mengartikan vonis bebas Muchdi adalah bukan bebas murni? Subjektivitas jaksa sangat berperan. JPU sering mengartikan sendiri suatu vonis bebas adalah bukan bebas murni tanpa argumentasi yang jelas dan kuat. “Hanya sebagai tangga untuk mengajukan kasasi,” kata Nasrullah.

Menurut Nasrullah, rezim bebas murni dan tidak bebas murni itu berasal dari yurisprudensi dan doktrin. Pada 15 Desember 1983, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan No. 275 K/Pid/1983 (dikenal sebagai kasus Natalegawa). Inilah yurisprudensi pertama yang menerobos larangan kasasi atas vonis bebas. Dalam putusan perkara ini, MA menerima permohonan kasasi jaksa atas vonis bebas terdakwa Natalegawa yang dijatuhkan PN Jakarta Pusat. Pertimbangan MA: demi hukum, keadilan dan kebenaran maka terhadap putusan bebas dapat dimintakan pemeriksaan pada tingkat kasasi. Nanti, MA-lah yang memutuskan apakah suatu putusan bebas murni atau bebas tidak murni.

Namun, menurut mantan hakim agung M. Yahya Harahap, penerobosan pasal 244 KUHAP pertama kali datang bukan dari MA, melainkan dari Pemerintah (eksekutif). MA justeru menyambut positif kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah kala itu. Dalam bukunya Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP (edisi kedua), Yahya Harahap menunjuk Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Keputusan ini dibarengi dengan lampiran. Pada angka 19 Lampiran tersebut terdapat penegasan berikut: (i) terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; (ii) tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, maka demi hukum, kebenaran dan keadilan, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi.

Sebagaimana diketahui, lima hari setelah SK Menteri Kehakiman itu keluar, MA menyambutnya dengan menerima permohonan kasasi JPU dalam perkara Natalegawa. Berdasarkan yurisprudensi itulah muncul istilah bebas murni dan bebas tidak murni. Suatu putusan ditafsirkan bebas murni jika kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak didukung alat bukti yang sah. “Putusan bebas murni artinya sama sekali tidak terbukti tindak pidananya,” jelas Nasrullah.

Sebaliknya, dijelaskan Yahya Harahap, suatu putusan dikatakan bebas tidak murni –lazim juga disebut pembebasan terselubung (verkapte vrispraak)—apabila suatu putusan bebas didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana dalam dakwaan. Bisa juga kalau dalam menjatuhkan putusan pengadilan terbukti melampui wewenangnya.

Satu hal yang jelas, penuntut umum sudah mengajukan kasasi. Kini, semua pihak menunggu MA bekerja sesuai dengan wewenangnya. Apakah argumentasi JPU cukup kuat, tentu saja MA yang akan menilai.

Tidak Dapat Diterima
Agar permohonannya diterima, mau tidak mau, Kejaksaan harus menguraikan secara jelas alasan-alasan permohonan kasasi. Menurut T. Nasrullah, memori kasasi thd putusan bebas tidak murni harus memuat: (i) jangka waktu menyatakan kasasi dan jangka waktu penyerahan memori kasasi; (ii) argumentasi tentang bebas tidak murni; dan alasan-alasan kasasi sebagaimana ditentukan KUHAP

Kalau argumentasi jaksa tidak kuat dan salah satu syarat permohonan kasasi tidak lengkap, menurut Nasrullah, permohonan jaksa tidak akan diterima. Ini pula yang mengkhawatirkan anggota tim penyusun revisi KUHAP itu. “Penuntut umum biasanya tidak mampu menguraikan alasan kasasi terhadap putusan bebas tidak murni,” ujarnya.

Bisa jadi kekhawatiran Nasrullah beralasan. Ada beberapa putusan MA yang menyatakan permohonan kasasi JPU atas vonis bebas tidak dapat diterima. Sebab, berdasarkan penilaian MA, selaku pemohon kasasi JPU “tidak dapat membuktikan bahwa putusan PN merupakan pembebasan yang tidak murni”. Dengan kata lain, pemohon kasasi tidak dapat mengajukan alasan-alasan yang dijadikan dasar pertimbangan tentang dimana letak sifat tidak murni dari suatu putusan bebas.

Pertimbangan seperti itu pernah dipakai MA ketika menolak kasasi jaksa dalam perkara Herizal bin Arsyad Nashyur (putusan no. 1871 K/Pid/2005). Singkatnya, Herizal didakwa melanggar UU Psikotropika. Jaksa menuntutnya enam bulan penjara atas tindak pidana ‘secara tidak sah tidak melaporkan adanya penyalahgunaan dan atau pemilikan psikotropika. Namun, dalam putusannya, PN Jambi menyatakan terdakwa Herizal tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana baik pada dakwaan pertama, kedua, atau ketiga. Karena itu, majelis hakim membebaskan terdakwa dari segala dakwaan.

JPU perkara ini mengajukan kasasi dengan dalih antara lain majelis hakim PN Jambi telah melakukan kekeliruan menerapkan hukum. Tetapi oleh MA, argumentasi JPU ditepis. Majelis hakim agung – Iskandar Kamil, Djoko Sarwoko, dan Moegihardjo-- menilai tidak ada argumentasi pemohon kasasi yang menguatkan bahwa putusan bebas dari PN Jambi adalah putusan bebas tidak murni.

Setahun setelah putusan perkara Herizal, MA kembali mengeluarkan sikap serupa. Dalam perkara terdakwa Henry Salim alias Asin (putusan No. 2016 K/Pid/2006) MA menyatakan permohonan kasasi JPU atas vonis bebas tidak dapat diterima. Jaksa mengajukan kasasi setelah PN Palembang membebaskan Henry Salim dari dakwaan melanggar UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. JPU beralasan hakim salah menerapkan hukum pembuktian.

Tetapi, dalam putusan yang diucapkan pada 14 Februari 2007 silam, majelis hakim agung –Iskandar Kamil, Djoko Sarwoko, dan Bahauddin Qaudry—menilai JPU tidak dapat membuktikan putusan bebas judex facti merupakan pembebasan yang tidak murni. Sifat tidak murni dari putusan tidak digambarkan pemohon kasasi secara jelas melalui argumentasi. Selain itu, berdasarkan wewenang pengawasannya, MA juga tidak melihat hakim PN Palembang yang menjatuhkan putusan bebas telah melampaui wewenang mereka. Karena itu, kata majelis, permohonan kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Kini, putusan Muchdi, menjadi satu lagi contoh dimana jaksa mengajukan kasasi atas vonis bebas yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama. Para pihak tentu saja harap-harap menunggu dengan perasaan campur aduk: bebas, dihukum, tidak dapat diterima, atau kemungkinan lain. Kuncinya kini ada di tangan MA.

Acara Pemeriksaan dalam Sidang Peradilan

1. Sistem pemeriksaan. Adapun 2 cara sistem pemeriksaan yaitu: (1) Sistem Accusatoir, tersangka/terdakwa diakui sebagai subjek pemeriksaan dan diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk melakukan pembelaan diri atas tuduhan atau dakwaan yang ditujukan atas dirinya. Dalam sistem ini pemeriksaan terbuka untuk umum (depan sidang pengadilan) (2) Sistem Inquisitoir, tersangka/terdakwa dianggap sebagai obyek pemeriksaan. Dalam sistem ini pemeriksaan tertutup, dan tersangka /terdakwa tidak mempunyai hak untuk membela diri (di depan penyidik). Namun kedua sistem ini mulai ditinggalkan, setelah diterapkan UU No.8/1981 tentang KUHAP, dengan diberinya hak tersangka/terdakwa didampingi penasehat hukum

2. Exceptie (tangkisan), suatu jawaban yang tidak mengenai pokok perkara. Exceptie sangat penting bagi terdakwa dan penasehat hukum, sebab dengan hal ini suatu surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum dapat berakibat: dinyatakan batal demi hukum (pasal 143:3), dinyatakan tidak dapat diterima (pasal 143:2 a), perkara dinyatakan sudah nebis in idem, dinyatakan ditolak, pengadilan menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara tersebut, karena menjadi wewenang pengadilan lain, penuntutan dinyatakan telah daluwarsa, dan pelaku pidana dinyatakan tidak dapat dipertanggungjawabkan (pasal 14). 2 Jenis exceptie yaitu: (1) exceptie absolut, suatu tangkisan mengenai kompetensi pengadilan. Kompetensi ini menyangkut kompetensi absolut, menyangkut kewenangan dari jenis pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara itu, dan kompetensi relatif, menyangkut wewenang pengadilan mana untuk mengadilinya. Jika tidak dipenuhinya tenggang waktu tersebut, maka perlawanan diajukan menjadi batal. Untuk (b) exceptie relatif hanya dapat diajukan pada sidang pertama, setelah penuntut umum membacakan dakwaannya. Exceptie relatif tidak harus ada putusan sela, tapi ia dapat diperiksa dan diputus bersama pokok perkara. Dua alasan diajukannya exceptie, yaitu: (1) menyangkut kompetensi pengadilan (kompetensi absolut, bahwa perkara tersebut menjadi wewenang pengadilan lain yang tidak sejenis untuk memutuskan, dan atau kompetensi relatif, bahwa perkara bukan menjadi wewenang pengadilan negeri tertentu untuk mengadinya, tetapi menjadi wewenang pengadilan negeri yang lain) (2) menyangkut syarat pembuatan surat dakwaan; (a) syarat formil (pasal 143:2a) tidak diberi tanggal, tidak ditandatangi oleh penuntut umum, dan tidak memuat identitas terdakwa secara lengkap, (b) syarat materil (pasal 145:2b) surat dakwaan tidak memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap tentang tidak pidana yang didakwakan, surat dakwaan yang tidak memuat waktu (tempos delictei), tempat (locus delictie) tindak pidana itu dilakukan

3. Pembuktian, bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya. 4 teori pembuktian, yakni (1) teori pembuktian positif, bahwa bersalah atau tidaknya terdakwa tergantung sepenuhnya pada sejumlah alat bukti yang telah ditetapkan terlebih dahulu (keyakinan hakim diabaikan), (2) teori pembuktian negatif, bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana, apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam UU ada, ditambah keyakinan hakim yang diperoleh dari adanya alat-alat bukti, (3) teori pembuktian bebas, bahwa mengakui adanya alat-alat bukti dan cara pembuktian, namun tidak ditentukan dalam UU, dan (4) teori pembuktian berdasarkan keyakinan, bahwa hakim menjatuhkan pidana semata-mata berdasarkan keyakinan pribadinya dan dalam putusannya tidak perlu menyebut alasan-alasan putusannya. Alat-alat bukti yang sah, apabila ada hubungan dengan suatu tindak pidana, menurut pasal 184:1, alat bukti yang sah: (1) keterangan saksi (pasal 1:27), keterangan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia saksi dengan sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu (tidak termasuk keterangan diperoleh dari orang lain/testimonium de auditu), dengan 2 syarat: syarat formil, apabila keterangan tersebut diberikan oleh saksi di bawah sumpah, sedangkan syarat materil, bahwa ketarangan saksi, hanya salah satu dari alat bukti yang sah, serta terlepas dari hal mengundurkan diri sebagai saksi (pasal 168), bahwa yang tidak didegar keterangannya adalah keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ke tiga dari terdakwa, saudara dari terdakwa atau yang sama-sama terdakwa, dan suami atau istri terdakwa, walaupun telah bercerai. 2 jenis saksi: (a) saksi A Charge (memberatkan terdakwa), saksi yang dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, dikarenakan kesaksiannya yang memberatkan terdakwa, (b) saksi A De Charge (menguntungkan terdakwa), saksi yang dipilih atau diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau penasehat hukum, yang sifatnya meringankan terdakwa. (2) Keterangan ahli (pasal 1:28), keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang tentang suatu perkara pidana, guna kepentingan pemeriksaan. (3) Surat (pasal 187). (4) Petunjuk (pasal 189), perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk ditentukan oleh hakim. (5) Keterangan terdakwa (pasal 189), apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan tersebut hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri

4. Requisitoir penuntut umum, surat yang dibuat oleh penuntut umum setelah pemeriksaan selesai dan kemudian dibacakan dan diserahkan kepada hakim dan terdakwa atau penasehat hukum. Isi requisitoir (surat tutntutan umum) adalah: (1) identitas terdakwa, (2) isi dakwaan, (3) fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, seperti: keterangan saksi, keterangan terdakwa, alat bukti, visum et repertum, dan fakta-fakta juridis, (4) pembahasan juridis, (50 hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa, (6) tuntutan hukum, dan (7) surat tuntutan yang telah diberi nomor , tanggal, dan tanda tangan penuntut umum

5. Pledooi (nota pembelaan) (pasal 182:1b), pidato pembelaan yang diucapkan oleh terdakwa maupun penasehat hukum yang berisikan tangkisan terhadap tuntutan penuntut umum dan mengguakan hal-hal yang meringankan dan kebenaran dirinya. Isi pledooi pada dasarnya, terdakwa minta dibebaskan dari segala dakwaan (vrijspraak) karena tidak terbukti, terdakwa supaya dilepaskan dari segala tuntutan hukum (anslag van rechtsvervolging) karena dakwaan terbukti, tetapi bukan merupakan suatu tindakan pidan dan atau terdakwa minta dihukum yang seringan-ringannya, karena telah terbukti melakukan suatu tindak pidana yang didakwakan kepadanya

6. Contempt of court, suatu tindakan merendahkan martabat pengadilan. Jenis contempt of court: (1) direct contempt of court, tindakan penghinaan yang dilakukan oleh orang-orang yang hadir dan menyaksikan secara langsung sidang pengadilan, (2) construjtive contempt of court, tindakan yang dilakukan tidak di dalam ruang sidang pengadilan

Penegak Hukum dan Wewenangnya

1. Penyelidik, setiap pejabat Polisi RI, yang berwenang untuk melakukan penyelidikan (serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur uu) (pasal 1;5). Menurut pasal 4, penyelidik berwenang : a, karena jabatan untuk; (1) meneriam laporan, atau pengaduan tentang adanya tindak pidana, (2) mencari keterangan dan barang bukti, (3) menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri, (4) mengadakan tindakan lain menurut hukum, dan b. atas perintah penyidik, penyelidik, dapat melakukan tindakan berupa : (1) penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan (2) pemeriksaan dan penyitaan surat, (30 mengambil sidik jari dan memotret seseorang (4) membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik

2. Penyidik (pasal 1:1), setiap pejabat Polisi RI atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh UU untuk melakukan penyidikan. Kepangkatan untuk menjadi penyidik: (1) Pejabat Polisi RI, sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi, (2) Pejabat Pegawai Negeri Sipil sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I/Golongan II-b. Wewenang penyidik menurut pasal 7: (a) menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana, (b) melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian, (c.) menyuruh berhenti dan memeriksa tanda pengenal diri seseorang tersangka, (d) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan (e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, (f) mengambil sidik jari dan memotret seseorang, (g) memangil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi, (h) mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara, (I) mengadakan penghentian penyidikan

3. Penangkapan, suatu tindakan penyidik, berupa penggekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa, apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan, dalam hal serta menurut yang diatur dalam UU (pasal 1:2). Berwenang melakukan penangkapan: (a) penyidik, (b) penyidik pembantu, (c.) penyelidik atas perintah penyidik. Bukti permulaan menurut SK Kapolri No. Pol SKEEP/04/I/1982, 18 Februari 1982, merupakan keterangan dan data yang terkandung didalam dua di antara: (1) laporan polisi, (2) Berita Acara Pemeriksaan di TKP, (3) Laporan Hasil Penyelidikan, (4) Keterangan saksi, saksi ahli, dan (5) barang bukti. Saat melakukan penangkapan petugas wajib (a) menyerahkan Surat Perintah Penangkapan kepada tersangka, yang memuat identitas tersangka (nama lengkap, umur, pekerjaan, agama), alasan penangkapan yang dilakukan atas diri tersangka dan uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, serta tempat tersangka diperiksa, (b) menyerahkan tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarga tersangka (tersangka tertangkap tangan dalam waktu 24 jam harus menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada Penyidik)

4. Penahanan (pasal 1:21), penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatut UU. Berwenang menahan adalah, penyidik, penuntut umum dan hakim. Alasan penahanan menurut pasal 20:3 adalah tersangka/terdakwa dikuatirkan: (a) melarikan diri, (b) akan merusak/menghilangkan barang bukti, dan (c.) akan melakukan lagi tindak pidana. Untuk melaksanakan penahanan, petugas harus dilengkapi, surat penahanan dari penyidik, atau jaksa penuntut umum, atau hakim yang memuat identitas tersangka (nama lengkap, umur, pekerjaan, agama), alasan penangkapan yang dilakukan atas diri tersangka dan uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, serta tempat tersangka diperiksa. Penahanan ini hanya dapat dikenakan terhadap tersangka/terdakwa yang disangka/didakwa melakukann tidak pidana atau percobaan, maupun perbuatan bantuan dalam tindak pidana menurut pasal 20:4 KUHAP, yaitu tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara minimal lima tahun dan atau tindak pidana tersebut dalam pasal-pasal 283:3, 296, 335:1, 372, 378, 379a, 453, 454, 455, 459, 480, dan 506 KUHP. Adapun jenis penahanan: (1) Penahanan Rumah Tahanan Negara, (2) Penahanan Rumah, (3) Penahanan Kota. Lama penahanan oleh penyidik 20 hari (ps 24:1) perpanjang 40 hari oleh JPU (ps 24:2), penuntut umum 20 hari (ps 25:1). Perpanjang 30 hari oleh Ketua PN (ps 25:2, hakim pengadilan negeri 30 hari (ps 26:1) perpanjang 60 hari oleh Ketua PN (ps 26:2), hakim pengadilan tinggi 30 hari (ps 27:1) perpanjang 60 hari oleh Ketua PT (ps 27:2), dan hakim mahkama agung 50 hari (ps 28:1) perpanjang 60 hari oleh Ketua MA (ps 28:2) . Penangguhan penahanan dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut umum dan hakim dengan jaminan uang atau barang, dengan syarat, tersangka/terdakwa wajib lapor, tidak boleh keluar rumah, atau tidak boleh keluar kota

5. Penggeledahan (pasal 1:17), mendapatkan bukti-bukti yang berhubungan dengan suatu tindak pidana, penyidik harus memeriksa suatu tempat tertutup atau badan orang. Menurut pasal 33 penggeledahan oleh penyidik harus; dengan izin Ketua Pengadilan Negeri, dengan perintah tertulis dari penyidik, disertai dua saksi (apabila tersangka/penghuninya menyetujui), disaksikan oleh Kepala Desa, atau Ketua lingkungan dengan dua orang saksi dalam hal tersangka/penghuni menolak atau tidak hadir, dan membuat berita acara yang ditembuskan kepada pemilik/penghuni rumah, dalam waktu 48 jam setelah penggeledahan dilakukan

6. Penyitaan (pasal 1:16), serangkaian tindakan penyidik mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktiaan dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.

7. Penyidikan. Pemeriksaan tersangka oleh penyidik dilakukan dengan sistem inquisitoir, dimana pemeriksaan dilakukan dengan menganggap tersaka sebagai obyek pemeriksaan. Penyidikan dianggap telah selesai, apabila dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan .Penghentian penyidikan dengan memberitahukan kepada penuntut umum dapat dilakukan, apabila tidak terdapat cukup bukti, peristiwa ternyata bukan merupakan tindakan ridana, dihentikan demi hukum (karena lampau waktu (verjarig) persoalan yang sama sudah pernah diadili dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Nebis in Idem)) , dan tidak ada pengaduan/pengaduan dicabut dalam hal tindak pidana

8. Penuntutan (pasal:7) tindakan penuntutan umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut UU dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Proses penuntutan: Penyidik penyerahkan hasil penyidikan kepada penuntut umum untuk diperiksa dalam jangka waktu 7 hari harus segera melaporkan kepada penyidik, apakah hasil penyidikan telah selesai atau belum (pasal 138:1). Apabila belum lengkap, hasil penyidikan dikembalikan untuk diperbaiki oleh penyidik dalam jangka waktu 14 hari harus sudah balik ke penuntut umum. Jika hasil penyidikan telah dapat dilakukan penuntutan, maka penuntut dalam waktu secepatnya membuat "Surat Dakwaan"

9. Koneksitas, percampuran orang-orang yang sebenarnya termasuk jurisdiksi Pengadilan yang berbeda dalam suatu perkara, misalnya seorang sipil dan seorang yang bersatus militer melakukan suatu kejahatan bersama-sama. Tersangka/terdakwa terdiri dari dua orang atau lebih yang tunduk kepada lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer. Untuk penyilidikan dilakukan berdasar Pasal 2 SK Bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman No.KEP.10/M/XII/1985 .No.KEP.57.ir.09.05 Th.1985 . terdiri dari unsur-unsur (a) Tim Pusat: Penyidik dari Mabes Polri, Penyidik dari PM ABRI pada Pusat PM ABRI, Oditur Militer dari Oditur Jenderal ABRI, dengan tugas melakukan penyidikan apabila perkara dan atau tersangka mempunyai bobot nasional dan atau internasional, dan apabila dilakukan atau akibat yang ditimbulkannya terdapat dalam lebih dari satu daerah Hukum Pengadilan Tinggi (b) Dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri: penyidik pada markas komando wilayah kepolisian, markas komando kota besar, markas komando resort dan markas komando sektor, penyidik dari PM ABRI pada Detasemen POM ABRI, dan Oditur Militer dari Oditur Militer dengan tugas (1) dalam daerah Hukum Pengadilan Tinggi, apabila dilakukan atau akibat yang ditimbulkannya lebih dari satu Daerah Hukum Pengadilan Negeri, tetapi masih dalam suatu Darah Hukum Pengadilan Tinggi, apabila pelaksanaan penyidikannya tidak dapat diselesaikan oleh Tim Tetap yang ada dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri dan masih dalam Daerah Hukum Pengadilan Tinggi yang bersangkutan (2) dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri, apabila dilakukan tindak pidana Koneksitas atau akibat yang ditimbulkannya terjadi dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Susuna majelis hakim yang mengadili perkara koneksitas adalah sebagai berikut: (1) Apabila perkara koneksitas diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, hakim ketua dari lingkungan peradilan umum, hakim anggota masing-masing ditetapkan dari peradilan umum dan peradilan militer secara berimbang, (2) Apabila perkara koneksitas diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, hakim ketua dari lingkungan peradilan militer, hakim anggota masing-masing ditetapkan dari peradilan umum dan peradilan militer secara berimbang (hakim dari peradilan umum diberi pangkat Tituler

10. Bantuan Hukum. Orang yang dapat memberikan "bantuan hukum'" kepada tersangka/terdakwa disebut Penasehat Hukum (pasal 1:13) atau seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan UU untuk memberikan bantuan hukum. Hak seorang penasehat hukum yaitu menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan (pasal 69), menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya (pasal 70:1), menerima turunan berita acara pemeriksaan (pasal 72), mengirim dan menerima surat dari tersangka setiap kali dikehendaki olehnya (pasal 73), dan dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan jalan melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terdapat tersangka (pasal 115:1)

Rabu, 08 Juli 2009

Hukum Acara Pidana

Hukum Acara Pidana

Pengertian:
Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana atau menyelenggarakan Hukum Pidana Material, sehingga memperoleh keputusan Hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan.
Hukum Acara Pidana di Indonesia saat ini telah diatur dalam satu undang-undang yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni UU-08-1981, berlaku sejak 31 Desember 1981

Pengertian
1. Tersangka, menurut pasal 1 ayat 4 KUHAP adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Tersangka belumlah dapat dikatakan sebagai bersalah atau tidak (presumption of innocence) azas praduga tak bersalah
2. Terdakwa, menurut pasal 1 ayat 5 KUHAP adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili dipersidangan pengadilan.
3. Terpidana adalah yang dijatuhi hukuman oleh Pengadilan pidana

Jenis Pidana yang dapat dijatuhkan kepada seorang Terpidana menurut pasal 10 KUHP, adalah:
1. Pidana pokok
2. Pidana mati
3. Pidana penjara
4. Pidana kurungan
5. Pidana denda
6. Pidana Tambahan
7. Pencabutan hak-hak tertentu
8. Perampasan barang-barang tertentu
9. Pengumuman keputusan
Hak-hak Tersangka/Terdakwa
Hak adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang tersangka, atau terdakwa. Apabila hak tersebut dilanggar, maka hak asasi dari tersangka, atau terdakwa telah dilanggar. Hak tersangka atau terdakwa:
1. mendapat pemeriksaan dengan segera (pasal 50:1)
2. perkaranya segera dilanjutkan ke Pengendilan (pasal 50:2)
3. segera diadili oleh Pengadilan (pasal 50:3)
4. mempersiapkan pembelaan (pasal 51 huruf a)
5. diberitahukan perihal apa yang didakwakan kepadanya (pasal 51 huruf b)
6. memberikan keterangan secara bebas (pasal 52)
7. mendapat bantuan juru bahasa (pasal 52:1) bagi yang tidak mengerti bahasa Indonesia
8. mendapat bantuan dalam bisu/tuli (pasal 53:2)
9. mendapat bantuan hukum (pasal 54,55)
10. untuk ditunjuk pembela dalam hak terdakwa dengan ancaman hukuman mati (pasal 56)
11. menghubungi Penasehat Hukum (pasal 57:1)
12. menerima kunjungan dokter pribadi (pasal 58)
13. diberitahukan kepada keluarganya (pasal 59)
14. menghubungi dan menerima kunjungan keluarga (pasal 60,61)
15. mengirim dan menerima surat (pasal 62)
16. menghubungi dan menerima Rohaniawan (pasal 63)
17. untuk diadili di sidang yang terbuka untuk umum (pasal 64), kecuali kasus susila, dan kasus terdakwa anak-anak yang masih di bawah umur
18. mengusahakan dan mengajukan saksi/saksi ahli atau saksi A De Charge (saksi yang menguntungkan) (pasal 65)
19. tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66)
20. banding (pasal 67)
21. mendapat ganti rugi dan rehabilitasi (pasal 68)
22. mendapat salinan dari semua surat/berkas perkara (pasal 72)

Proses terjadinya Perkara Pidana
Perkara pidana dapat terjadi karena :
1. Tertangkap tangan artinya tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau segera sesudah beberapa saat tidak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya. Atau saat itu ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana ( pasal 1:19)
2. Laporan/pemberitahuan, artinya suatu pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajibannya berdasarkan undang-undang kepada pihak yang berwewenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinnya peristiwa pidana.(pasal 1:21). Pihak yang berhak mengajukan laporan (pasal 103) adalah setiap orang yang : (a) mengetahui peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana (b) melihat suatu peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana, (c.) menyaksikan suatu peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana , (d) menjadi korban dari peristiwa tindak pidana, (e) mengetahui pemufakatan jahat untuk melakukan tindakan pidana terhadap : -ketentraman/keamanan umum, - jiwa atau hak milik, dan (f) setiap pegawai negeri, dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa pidana. Bentuk laporan: -lisan, - tulisan; pelor wajib diberikan tanda penerimaan laporan (pasal 108:6)
3. Pengaduan, artinya pemberitahuan resmi disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pihak berwenang untuk menindak, menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikan (pasal 1:25). Pihak yang berhak membuat pengaduan (pasal 108) adalah setiap orang yang :
1. mengetahui peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana
2. melihat suatu peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana,
3. menyaksikan suatu peristiwa yang diduga merupakan tindakan pidana ,
4. menjadi korban dari peristiwa tindak pidana,
5. mengetahui pemufakatan jahat untuk melakukan tindakan pidana terhadap: -ketentraman/keamanan umum, - jiwa atau hak milik, dan
6. setiap pegawai negeri, dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa pidana. Bentuk pengaduan: -lisan, - tulisan (pasal 108:6). Tindak pidana aduan dalam KUHP: pasal: 72, 73, 278, 284, 287, 310, 311, 315, 319, 321, 332, 320


Upaya Hukum

Upaya hukum (pasal 1:12), hak dari terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU. Dua upaya yang dapat ditempuh: (1) upaya hukum biasa: (a) banding (pasal 67), suatu alat hukum (rechtsniddel) yang merupakan hak terdakwa dan hak penuntut umum untuk memohon, agar putusan pengadilan negeri diperiksa kembali oleh pengadilan tinggi, dengan tujuan memperbaiki kemungkinan adanya kekhilafan pada putusan pertama. Permohonan ini dapat dilakukan dalam waktu 7 hari setelah vonnis diberitahukan kepada terdakwa, (b) kasasi, suatu alat hukum yang merupakan wewenang dari mahkamah agung untuk memeriksa kembali putusan-putusan terdahulu dan ini merupakan peradilan terakhir. Permohonan ini diajukan dalam kurung waktu 14 hari setelah vonnis dibacakan. Pada pengajuaan kasasi, terdakwa diwajibkan membuat memori kasasi yang diserahkan kepada panitera pengadilan negeri dan untuk itu panitera memberi suarat tanda terima. Alasan kasasi diajukan, karena pengadilan tidak berwenang atau melampau batas wewenang, salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, dan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan (pasal 253:1). (2) upaya hukum luar biasa, (a) kasasi demi kepentingan hukum (pasal 259), semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan selaian dari putusan MA, Jaksa Agung, dapat mengajukan satu kali permohonan, putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan. (b) Herziening, peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 263:1).
Peninjauan ini diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Alasan pengajuan (pasal 263:2), apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa apabila keadaan itu sudah diketahui sebelum sidang berlangsung hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan bebas dari segala tuntutan, atau ketentuan lebih ringan (novum), apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata.pengadilan ditetapkan. (3) Upaya hukum grasi, wewenang dari Kepala Negara untuk memberikan pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh Hakim, untuk menghapus seluruhnya, sebagian atau merobah sifat/bentuk hukuma (pasal 14 UUD 1945)

Praperadilan (pasal 1:10)
Wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam UU tentang; sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarga atau pihak lain atas kuasa tersangka, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan tersangka/penyidik/penuntut umum, demi tegaknya hukum dan keadilan, dan permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka, keluarga atau pihak lain yang dikuasakan.

Data Pustaka : Prints, Darmawan, SH, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Djambatan, Jakarta 1989

Selasa, 07 Juli 2009

Tri Dharma Perguruan Tinggi Yang Tersisihkan

Baik jika diingat disini,
“bagi siapa yang ingin menguasai dunia, maka harus baginya memiliki ilmu, bagi siapa yang ingin menguasai akhirat, maka baginya harus memiliki ilmu, dan bagi siapa yang ingin memiliki keduanya maka baginya pula harus memiliki ilmu”

Relative memang, tapi disadari atau tidak, ilmu memiliki sifat yang terus melindungi manusia dari kekangan alam yang terus berkembang, sejajar dengan itu pula kita sebagai mahasiswa mempunyai tuntutan untuk “mencari siapa diri kita sebenarnya?” membebaskan diri kita dari waktu yang selalu mendorong kita tetap akan terjtuh pada lubang kenistaan, yang akhirnya membuat kita tak berarti bagi kehidupan social. Karena telah dikatakan “sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi manusia lainnya” . bagaimana dengan kita?? Ketika kita diam dan terus dalam ketidaktahuan, maka mungkin kita juga bisa menjawabnya….

Kekangan dan keterkungkungan kita sebagai manusia yang juga mengemban amanat sebagai mahasiswa yang disertai perasaan yang selalu mendorong kita masuk ke dalam ketidaktahuan dan kebodohan, hal ini tanpa disadari membuat kita tidak percaya diri dan cenderung apatis. Kita lebih memikirkan nilai, dan atau kita lebih cenderung memikirkan dunia kita dangan segala pencitraan yang lebih menjurus kepada segala kenikmatan dunia. Akhirnya kita takut kepada sebuah kegagalan di masa depan yang seharusnya masa depan itu ditentukan bagaimana kita berbuat di masa yang akan kita lalui perdetiknya dimulai pada pertama kali kita membuka mata.

Mahasiswa yang sehari-harinya menjalani aktivitas akademik, seakan menjalaninya sebagai formalitas yang dinilai berjalan sebagai kewajiban fundamental sebagai mahasiswa yang merupakan bagian daripada proses belajar setelah lulus dari jenjang pendidikan sebelumnya. Perlu dikaji kembali oleh kita sebagai subjek daripada perjalanan kita selama berada dalam prioritas kita menjalani kegiatan akademisi, mengapa mahasiswa berpakaian bebas? Mengapa kita disebut MAHA-SISWA? Apakah benar kita belajar lebih tinggi daripada apa yang telah kita pelajari dari SD s/d SMA? Lalu apakah kita bangga dan yakin bahwa setelah ini kita menjadi lebih berharga daripada mereka yang tidak kuliah? Hal kecil memang, tapi ini menjadi hal yang lebih besar ketika kita mengetahuinya, lebih besar dan berefek besar daripada yang dibayangkan…

Jika kita rasakan pada setiap realita yang terjadi hari ini, kita bagaikan robot yang segala sesuatunya berjalan sesuai dengan apa yang seharusnya kita lakukan dan dengan mau tidak mau melakukan intruksi orang lain tanpa melihat apa yang terjadi disekeliling kita, maka jika kita berangkat dari sini apakah kita bisa membebaskan diri dari hal yang sebenarnya kita tidak ketahui dasarnya? Kita menjalaninya mungkin hanya untuk hal materialistis, Kita menjalaninya tanpa kesadaran waktu, tanpa mengetahui apa segi positif dan negative yang akan kita dapatkan setelah melakukan hal tersebut, bila itu terjadi, maka yakinkah apa yang diharapkan itu akan kita dapatkan didalam ketidak tahuan kita? di dalam tingkah kita yang selalu bertindak sesekali sebagai sosok yang skeptis? Apatis? Menjadi sosok yang tidak guna bagi orang lain bahkan bagi dirinya sendiri?

Dari bentuk apatis tersebut, dan dari bentuk keragu-raguan kita sebagai mahasiswa, kita di benturkan di dalam ruang yang sungguh dilematis, banyak yang jatuh ke ruang kenistaan lantaran permasalahan orang tua, ada yang frustasi lantaran patah hati, “Oh NO.” “BUNG!!! Kita berada di INDONESIA, Bangsa ini tercipta BUKAN Karena kisah ROMANTIKA ROMEO DAN JULIET, Bukan Juga tercipta KARENA PERJUANGAN RAMA MENDAPATKAN SHINTA. Tapi Bangsa Ini Merdeka karena PERJUANGAN SEGENAP BANGSA MENUMPAHKAN DARAHNYA DI ATAS TANAH PERTIWI!!!”

“bung!!!,kalo jasmani yg berupa daging ini akan busuk musnah pada masanya... bahkan masih hiduppun tanpa sentuhan sabun dan parfum jasmani ini tetap bau... mengapa kita justru memobilisasi seluruh daya dalam hidup ini untuk kepentingan jasmani dgn semua kenikmatannya?!. padahal ruhani yg kekal abadipun terbaikan?”

Dunia romantika memang begitu indah, dan kewajiban belajar bagi Mahasiswa yang menjadi terlalu fundamentalis juga tidak dapat di salahkan, walaupun nantinya di rasakan atau tidak justru akan menjadi mahasiswa yang “kolot”, “SARJANA yang KOLOT”, hal ini dikarenakan kehidupan yang kita jalani saat ini terlalu dimakan oleh hal yang menjadi suatu kefanatikan terhadap dunia, ilmu yang di majukan hanya untuk meraih penghargaan sementara, tapi kita pun hanya membuka”jendela dunia” hanya seminggu tujuh kali, akan tetapi baik bila dipadukan dengan nilai dasar bahwa di setiap individu kita memiliki aturan serta keyakinan yang kita nilai ini adalah hubungan antara kita sebagai khalifah-Nya dengan Tuhannya.

Artinya, baik bila muda kini kita gunakan untuk membangun peradaban yang nantinya akan dirasakan oleh anak dan cucu serta kemajuan suatu Negara. Karena, bila kita kembali pada apa yang telah diamanatkan Tuhan kepada Umatnya, “sesungguhnya Aku menciptakan kalian berpasang-pasangan, bersusu-suku, dan berbangsa hanya untuk saling mengenal” yang kemudian di juruskan kepada, “ tidak ada yang bisa merubah suatu kaum selain kaum itu sendiri”, dan di tambahkan, “sebaik-baiknya MANUSIA adalah YANG BERMANFAT bagi ORANG LAIN”, dari sini maka tuntutan pun semakin bertambah. Bung, didunia ini kita tak untuk selamanya, hidup ini perlu adanya kemerdekaan, dan orang yang merdeka adalah orang yang mampu menentukan arah hidup tanpa adanya paksaan. Dan ingat, untuk suatu kebebasan kita memerlukan suatu perjuangan, dimana perjuangan itu kita dihadapkan oleh suatu pertanyaan, “Menang atau Mati?”.

Karena dari itu, Kita sebagai mahasiswa seharusnya memiliki nilai-nilai yang sangat ideal yang tanpa disadri kita memilkinya sejak lama, di umur yang “cukup” itu pula nilai-nilai itu bergeser dan kini sebagian besar mahasiswa tidak “tau” apa filosofi daripada nilai-nilai tersebut atau bahkan “tidak tau menau” nilai-nilai yang bermuara pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang berbunyi:
1. Pendidikan / Penelitian
2. Pengembangan
3. Pengabdian kepada Masyarakat

Ketiga nilai inilah yang seharusnya menjadi paradigm atau batu pijakan dari pola pikir mahasiswa dalam mengimplementasikan wacana keilmuannya berlandaskan pada penelitian yang diartikan bahwa kita harus melihat langsung secara praksis dengan tidak meninggalkan rasionalitas kita sebagai manusia yang tidak saja terpaku pada nilai-nilai teoritis. Mahasiswa jelas berbeda dengan siswa dari SD s/d SMA, dan itu kita dapat katakan dengan tegas di hadapan dunia sekalipun. Maka dari itu, jangan juga kita terpaku pada formalitas kita sebagai “jebolan” darinya, karena pada dasarnya di akui atau tidak, Mahasiswa mempelajari pelajaran-pelajaran yang lebih rendah daripada pelajaran-pelajaran yang diajarkan di TK. Mahasiswa mencari, apa dia dan akan seperti apa dia kelak? Siapkah kita mahasiswa menjadi sosok yang bertanggung jawab ketika mati nanti? Mampukah kita memberikan kebahagian sebelum tercabutnya nyawa orang tua?? Dan banyak pertanyaan-pertanyaan yang mengacu pada hal tersebut, Ini adalah hal yang teramat kecil dan tanpa disadari inilah pelajaran yang sesungguhnya yang harus kita dapati penjawabanya daripada bagaimana kita mampu berfikir bebas.

Dari hal di atas tersebut, kita akan mengembangkan hidup ini dari ilmu yang telah didapat dari proses pembelajaran di SD s/d SMA, maka dari itu, ketika menjadi Mahasiswa pakaian tidak lagi diseragamkan agar pola pikir ini terbebaskan yang tanpa adanya “Tanda Seru” dari dosen atau siapapun dia. bagaimana kita dapat menjawabnya di tentukan bagaimana pikiran kita yang berlandaskan daripada penelitian dan pendidikan yang telah di dapat. Yang kemudian kita akan di uji secara langsung di hadapan masyarakat. Maka, kenapa syarat akhir daripada universitas atau perguruan tinggi adalah tulisan-tulisan yang berdasarkan dari hasil penelitiannya dan dikembangkan dengan kata-kata.

Namun, seperti inilah keadaan bangsa kita hari ini. Entah kenapa nilai-nilai dasar ini tercoreng, apakah ini dikarenakan kehausan kita akan dunia, atau mungkin juga kita terlalu ambisius oleh akhirat kita demi tergenggamnya surga??

Terlalu naïf bila kita terlalu percaya diri untuk mendapatkan surga setelah hidup ini dengan hanya menjalankan kewajiban dan sunnah agama. Perlu di ingat di sini, “LAKUKAN di DUNIAMU untuk AKHIRATMU!!!”, karena dari itu,”Orang-orang yang SHALATpun BELUM TENTU MASUK SURGA!!”

Maka, kita belajarlah dari bagaimana kita mampu membebaskan diri dari ilmu yang kita miliki, dengan pemaknaan penuh inspirasi menjadi plopor daripada kemerdekaan berfikir agar kita mampu menentukan kemana arah hidup ini yang pada dasarnya dilindungi oleh agama dan berada dalam ruang lingkup social yang terdapat banyak perbedaan.

Kita harus menyeimbangkan antara Hablumminannas (hubungan Kita dengan manusia lainnya) dan Hablumminallah (hubungan kita dengan tuhan) dan Hablumminal Alam (hubungan kita dengan alam) yang akhirnya kita menjadi ulul albab.