Pengumuman

selamat datang di blog adree291, demi kemajuan kita, maka komentar, saran dan kritik anda gw tunggu, send me an email to adrielfikri@gmail.com

selamat datang anak bangsa!!!

ketika yang berserak kini berhimpun, dengan menatap masa depan meraih mimpi mewujudkan cita-cita kemerdekaan dengan semangat Independen jiwa dan diri sebagai Hamba Allah yang senantiasa berada dalam Limpahan Karunia Ilahi

Minggu, 05 Desember 2010

Terbentuknya Timor Leste

Atas Nama darah dan Air Mata

“Kadang-kadang, saya merasa sangat marah. Saya bisa menjadi begitu gila dan satu-satunya yang saya inginkan adalah membunuh semua pelaku pembunuhan. Dan kemudian, di lain waktu, saya pikir: tetapi suami saya telah meninggal. Tidak ada yang dapat mengembalikannya, bahkan pembalasan dendam.” (CAVR Homepage, www.easttimor-reconciliation.org, Quotable Quotes) Itulah kata-kata seorang janda yang keluarganya menjadi korban pembunuhan di Timor Leste selama pemerintahan Indonesia.

Hampir semua keluarga di Timor Timur mengalami kehilangan anggota keluarganya selama dua puluh empat tahun pemerintahan Indonesia di sana. Antara 200.000- 250.000 orang, sekitar sepertiga dari jumlah penduduk, tewas di dalam perang, kelaparan, epidemik, dan penyiksaan brutal oleh tentara-tentara Indonesia. Milisi-milisi sipil pro-Indonesia membunuh lebih dari 1.500 orang pada 1999.

Keluarga hancur, dan orang-orang yang dicintai “hilang” atau dipaksa untuk ambil bagian di dalam genosida. Wanita dan anak-anak sering diperkosa di hadapan anggota keluarga mereka sendiri. Banyak orang yang kembali setelah mengalami penyiksaan. Beberapa diantaranya hilang selamanya.

Indonesia telah berhasil menciptakan iklim ketakutan dan teror di Timor Timur. Militer yang bertugas disana menggunakan prinsip divide et impera, yang memisahkan masyarakat, dan kemudian mengadunya satu sama lain. Mereka menggunakan penyiksaan dan ancaman untuk memaksa penduduk setempat berpihak kepada mereka, membujuk mereka dengan uang dan kekuasaan, sehingga akhirnya mereka terpengaruh.

***

Kejahatan HAM yang terjadi pada perang saudara 1975 juga merupakan lembaran tergelap sejarah Timor Timur. Kemerdekaan Timor Timur pada 20 Mei 2002 menandakan berakhirnya konflik panjang, yang hanya baru belakangan menerima perhatian dari dunia internasional.

Selama beberapa dekade, pemerintahan Indonesia melakukan kejahatan HAM di Timor Timur tanpa intervensi sedikit pun dari dunia internasional. Selama dua puluh empat tahun yang sama, rakyat Timor Timur melakukan perlawanan terhadap dominasi militer Indonesia untuk menciptakan masyarakat yang merdeka dan bebas dari kekerasan.

Baru belakangan, upaya-upaya yang dilakukan oleh organisasi-organisasi HAM dan organisasi-organisasi Katolik mendapatkan perhatian dari dunia internasional. Penghargaan Nobel Perdamaian yang diberikan kepada Uskup Bello dan Politisi José Ramos-Horta pada 1996 menandai perubahan kebijakan internasional terhadap Indonesia.

Perhatian dunia internasional terhadap Timor Timur muncul ditandai dengan perubahan konstelasi kekuatan dunia pasca berakhirnya perang dingin dan, secara partikular, pengunduran diri secara paksa Soeharto pada Mei 1998, yang telah memerintah Indonesia dengan tangan besi selama tiga puluh dua tahun.

Mayoritas rakyat Timor Timur, yakni 78,5%, memutuskan untuk memisahkan diri dari Indonesia dalam referendum yang dilaksanakan oleh PBB pada 30 Agustus 1999. Kemenangan di dalam pemilihan umum ini dibayar dengan harga yang sangat mahal. Beberapa bulan sebelum referendum dilaksanakan, milisi sipil pro-Indonesia melancarkan aksi teroris dan intimidasi terhadap masyarakat sipil. Tujuannya jelas, yakni untuk memaksa mereka tidak memilih kemerdekaan di dalam referendum.

Milisi-milisi sipil tersebut bertindak seolah-olah mereka adalah “pemain pengganti” dari militer Indonesia, yang notabene memang mengorganisir dan mempersenjatai mereka. Militer Indonesia ini adalah pihak yang sama, yang telah menandatangani persetujuan dengan PBB untuk menciptakan iklim yang bebas dari kekerasan, sehingga penyelesaian konflik dapat berlangsung.

Milisia sipil tersebut melakukan pembantaian massal. Pembantaian itulah yang di kemudian hari menarik perhatian dunia internasional. Ada berbagai tindakan pembunuhan, pemerkosaan, intimidasi, dan kekerasan yang tidak terhitung jumlahnya. Tindak kekerasan tersebut mencapai puncaknya, ketika pihak pro-Indonesia dipaksa menelan kekalahan di dalam referendum.

Milisia sipil meratakan seluruh bangunan menjadi tanah, memaksa banyak orang untuk meninggalkan kampung halaman mereka, dan menuju Timor Barat. Setidaknya, ada seribu orang yang terbunuh selama masa-masa itu.

Dengan dipicu terjadinya peristiwa berdarah tersebut, pihak PBB menekan pemerintah Indonesia untuk menyetujui dikerahkan pasukan multinasional penjaga perdamaian. Ketika International Free Force of East Timor (INTERFET) mendarat di Timor Timur para 20 September 1999, ibu kota Dili telah ditelan oleh api. 70 % dari seluruh negara telah dihancurkan, dan banyak orang telah meninggalkan desa mereka menuju ke Timor Barat. Timor Timur kemudian diperintah secara sementara oleh PBB sampai kemerdekaannya.

***

Sebagian dari infrastruktur yang hancur telah dibangun kembali dengan bantuan dunia internasional. Akan tetapi, negara ini masih dalam perjalanan panjang sebelum semua warganya dapat hidup tidak hanya di dalam iklim kebebasan, tetapi di dalam perdamaian dan keadilan.

Pembangunan menuju perdamaian sejati mau tidak mau akan mengajak seluruh rakyat Timor Timur untuk berhadapan dengan masa lalu mereka yang gelap, yang masih tetap merupakan tantangan terberat. “Sebuah rezim yang didirikan atas dasar kekerasan dan ketidakadilan meninggalkan warisan yang negatif bagi masyarakat yang terkait. Di samping pengaruhnya terhadap keadaan sekarang, potensi destruktif yang diwariskan kerap kali diremehkan dalam proses menuju keadaan yang lebih damai.” (German Commission for Justice and Peace, 2004)

Untuk menanggulangi warisan dalam bentuk potensi destruktif ini, sebuah Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor Timur, atau Commissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliação de Timor Leste (CAVR), dibentuk. Komisi ini mulai bekerja pada 22 Januari 2002. Tujuan utama dari pembentukan ini adalah menyelidiki berbagai tindak pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia, yang dilakukan dari April 1974 sampai hengkangnya militer Indonesia pada Oktober 1999, sehingga rekonsiliasi dapat dicapai melalui pemenuhan keadilan.

Korban diberikan kesempatan untuk memberi kesaksian tentang kejahatan HAM yang telah mereka derita, dan keadilan akan diberikan kepada mereka dalam bentuk permintaan maaf publik, kompensasi material, atapun penghukuman legal terhadap para pelaku yang bertanggungjawab. Pada pelaku yang bertanggung jawab, banyak diantaranya masih tinggal di Timor Barat, akan diberikan kesempatan untuk diterima kembali di dalam masyarakat.

***

“Kami ingin belajar dari masa lalu, sehingga kami dapat mencegah tragedi yang serupa di masa depan. Pada waktu yang sama, kami ingin membuka pintu maaf dan penerimaan bagi mereka yang terjebak di dalam lingkaran setan kekerasan,” (CAVR Homepage) ucap Menteri Luar Negeri Timor Timur, José Ramos-Horta. Komisi Kebenaran di Timor Timur telah memulai langkah pertama untuk menciptakan rekonsiliasi di dalam masyarakat mereka. Laporan final yang diberi judul CHEGA!, artinya cukup!, telah dicetak. Proses diseminasi dan sosialisasi tengah dalam proses. Harapan untuk rekonsiliasi dan pertanggungjawaban juga mulai tumbuh. Adakah yang bisa kita pelajari dari semua proses ini?

Sejarah dan semua proses yang terjadi di Timor Timur ini mengajarkan kita tentang pentingnya mengingat dan melestarikan sejarah. Chega! adalah sejarah, dan sejarah adalah suatu aktivitas. Tepatnya, sejarah adalah aktivitas mereproduksi peristiwa dengan kaca mata tertentu. Memang, manusia selalu membutuhkan kaca mata dan kerangka berpikir tertentu untuk mengarungi hidupnya. Setiap orang bertindak dengan kerangka makna yang berbeda, dan kadang beririsan dalam satu momentum. Irisan itu bisa pula benturan, bisa pula kooptasi. Momentum itulah yang membingkai kehidupan bersama kita, sehingga kehidupan itu bisa bermakna.

Seluruh laporan final komisi kebenaran ini memiliki suara lain, jika dibandingkan dengan versi penguasa yang pernah ‘dipentaskan’ di Pengadilan HAM Ad Hoc di Jakarta. Ironisnya, Jakarta, Washington, dan Canberra, adalah tempat-tempat pengambilan keputusan untuk menduduki Timor Timur pada 1975, dan di tempat itulah putusan tentang kemerdekaan Timor Timur dilakukan. Pengadilan Ad Hoc telah membebaskan sebagian besar perwira yang menjadi tersangka. Pengadilan tersebut juga menyatakan bahwa apa yang terjadi di Timor Timur adalah “tetangga yang menghantam tetangga”. Ironisnya lagi, orang-orang Suai yang mengungsi ke Betun NTT, termasuk juga para mantan milisia, tahu persis pihak mana yang membagi senjata untuk membantai pengungsi di Gereja Ave Maria.

***
Alkisah, selama di pengungsian, lahirlah beberapa lagu yang diinspirasikan dari kisah penderitaan para pengungsi. Pada suatu waktu, lagu ini dinyanyikan ketika ada utusan dari Timor Timur untuk membawa pesan rekonsiliasi. Orang tua dan anak-anak menangis mengucurkan air mata, ketika menyanyikannya. Nada dan syair lagu itu sangat emosional dan pedih. Melalui lagu, mereka menyampaikan semua kesedihan, kemarahan, dan penghinaan yang telah mereka rasakan. Dengan lagu itupulalah mereka menyampaikan kisah kelam sejarah mereka kepada generasi berikutnya.

Di dalam sejarah manusia, komunitas-komunitas tradisional menggunakan legenda, mitos, ataupun dongeng untuk mengatasi ruang dan waktu yang memisahkan mereka dengan generasi berikutnya. Pada hakekatnya, peradaban manusia adalah komunitas pengembara waktu. Masa lalu, masa kini, dan masa datang dibentuk melalui reproduksi legenda, mitos, dan dongeng yang sudah ada di dalam tradisi. Sebagaimana dengan lagu dan tradisi itu, buklet kecil ini, dan laporan final CHEGA! itu sendiri, akan menjembatani ruang dan waktu yang lebarnya memisahkan kita dengan generasi anak cucu di masa datang.

Harapannya sederhana, apa yang terjadi di Timor Timur ini dapat kita kenang. Tidak hanya dapat dikenang, tetapi harus dikenang, dan sedapatnya tidak terulang lagi. Cukup!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar